OH, MY DIRECTOR!
Karya Diah Pitaloka
Fajar terbit menyinari Ibukota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Ya, itulah Kota Jakarta yang ramainya hampir tidak pernah absen. Di suatu perumahan yang cukup ellit di Jakarta, hiduplah seorang director termuda yang saat itu sedang naik daun. Ia bernama Fathur Mahendra. Ia tinggal bersama ayahnya yang seorang wakil Direktur perusahaan elektronik ternama di Jakarta yang bernama Abas.
"Ayah, aku pamit dulu", ujar Fatur.
"Baiklah, semoga lancar terus film yang kamu sutradarai ya nak" ,jawab ayahnya dengan segudang harapan terhadapnya.
"Terimakasih ayah, aku akan memberitahumi ketika filmnya sudah rilis" ucap Fatur.
"Harus dong", sahut ayahnya.
Fatur datang sangat awal ke lokasi syuting. Ini adalah film ke dua yang sedang ia sutradarai. Tak lama kemudian muncul seorang wanita yang sedang mengomel tiada henti. Ternyata dia adalah Sarah yang merupakan salah satu aktris di film yang Fatur sutradarai.
"Da, gua tuh kesel banget dari kemarin tau gak!" omel Sarah yang merupakan salah satu aktris film yang Fatur sutradarai.
"Kenapa lagi sih?" tanya Nida yang merupakan temannya juga sang production designer film.
"Ya itu, gara-gara sutradara sialan", grutu Sarah tiada henti.
"Dia kayak gitu kan demi kebaikan film kita Sar", ujar Nida sembari menenangkan Sarah.
"Ya iya sih, tapi akting nangis itu gak mudah Da, kalau diomelin kayak gitu terus bukannya bikin gua bisa mendalami karakter, tapi malah menurunkan mood syuting tau gak!" grutu Sarah.
"Sabar Sarah, namanya juga proses, jalani dan nikmati aja", jawabnya dengan santai.
"Ishh" , lagi-lagi Sarah menggrutu dengan raut wajah kesal.
Ya, maklum tahun ini adalah pertama kalinya Sarah syuting film perdana yang ia bintangi. Kemudian Sarah langsung di make up dan segera pergi shoot. Di lokasi syuting tersebut, Fatur menghampiri Sarah.
Fatur : "Untuk scene kali ini, kamu harus bisa memicu emosi penonton nantinya, kamu harus bisa mengeluarkan emosimu dengan baik pada scene ini. Kamu harus bisa, oke?"
Sarah : "Aku udah biasa marah-marah, gak usah khawatir" jawab Sarah dengan muka jengkelnya.
Lima jam kemudian setelah syuting selesai, Fatur menghampiri Sarah dengan raut wajah yang terlihat begitu senang.
"Sarahh..", sapa Fatur.
"Iya kak, eh pak sutradara, ada apa?" jawab Sarah keceplosan.
"Umur gua masih 25, panggil aja 'kak', gak usah terlalu formal kok, santai aja" sahut Fatur dengan enjoy.
"Oke deh kalau gitu" jawab Sarah dengan tenang.
"Ohya, aktingmu kali ini sangat bagus, terimakasih ya" ucap sang sutradara dengan senyum yang berbinar di wajahnya.
"Hah? Serius?", tanya Sarah tak percaya dengan pujiannya.
"Iya", jawab Fatur dengan jujur.
"Hmm, baguslah kalau gitu, aku bakal lebih kerja keras lagi" ucap Sarah dengan lega.
"Ohya, kamu udah makan belum?" tanya Fatur dengan penuh perhatian.
Sarah menggelengkan kepalanya. Belum sempat bertanya, Fatur sudah dipanggil oleh asisten produser untuk melaksanakan meeting, dan segera mengucapkan selamat tinggal kepada Sarah dengan lembut.
Setiba di stasiun, Sarah membeli camilan ringan di alfaexpress. Sambil menunggu kereta, ia duduk sambil makan camilan ringannya. Tapi tiba-tiba ia teringat kejadian saat setelah selesai syuting. Sarah merasa heran, entah kenapa ia merasa hari ini sutradaranya begitu lembut dan perhatian kepada Sarah. Padahal, kemarin-kemarin ia sering diomelin sutradanya tersebut. "Tumben amat ya, kemarin dia marah-marah terus kayak singa mau makan anaknya, tapi sekarang dia sangat lembut & perhatian. Apa mungkin... Dia berkepribadian ganda kayak di drama-drama korea gitu?" gumam Sarah dalam hati dan imajinasinya hingga ia tidak menyadari bahwa kereta yang ia tuju sudah melaju kembali. "Astaga, aku jadi ketinggalan kereta gara-gara dia, aish!!" omel Sarah.
Setelah sampai rumah, Sarah langsung pergi ke ranjang tidurnya. Namun, baru sejenak ia memejamkan matanya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Aish, siapa sih, ngeganggu gua tidur aja sih" omel Sarah sembari mengambil ponselnya di meja. Lalu Sarah begitu terkejut ketika melihat bahwa Fatur, sang sutradaranya yang menelponnya. Jantung Sarah berdetak dengan cepat. "Angkat enggak angkat enggak angkat enggak", pikir Sarah sambil menghitungnya dengan jari. Namun ia memutuskan untuk tidak mengangkat telepon darinya, dan langsung melanjutkan tidurnya tanpa pikir panjang.
BERSAMBUNG